jejakhadist.com
jejakhadist.com

4 fase Sejarah Pembentukan Ilmu Dirayah.

Ilmu Dirayah merupakan  ilmu utama dalam dunia kehadisan, ia adalah ilmu yang membahas tentang qaidah dan rumus penelitian terhadap sanad dan matan hadist, guna mengetahui kevalidan suatu hadist, apakah hadist tersebut diterima atau ditolak.

Setiap Ilmu memilik sejarah kemunculannya, tidak ada ilmu menjadi besar secara tiba-tiba tanpa sebab. Ditulisan ini saya akan membahas bagaimana tahap-tahap pembentukan Ilmu dirayah menjadi ilmu besar dalam keilmuan islam.

Baca Juga: Penjelasan Istilah Ilmu Hadist Riwayah Dan Dirayah.

Secara garis besar ada 4 fase sejarah pembentukan Ilmu Dirayah:

  1. Ilmu Dirayah pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat.
  2. Ilmu Dirayah pada masa tabi’in.
  3. Ilmu Diraya pada masa Tabi’ Tabi’in. (Abad ke-2 H – Pertengahan Abad ke-3 H).
  4. Ilmu Dirayah pada masa setelah Tabi’ Tabi’in. ( Abad akhir 3 H – Abad ke-4 H).

Mari kita simak penjelasannya!

Ilmu Dirayah Pada Zaman Rasulullah SAW Dan Para Sahabat.

Pada zaman Rasulullah hidup ilmu hadist telah tampak tanda-tandanya, hanya saja ilmu tersebut belum terbentuk secara eksplisit.

Para peneliti hadist memperhatikan adanya dasar pembentukan Ilmu hadist sejak zamannya Rasulullah hidup, diantaranya Firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ. (الحجرات 6).

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujrat: 6).

Ayat ini memerintahkan kaum muslimin untuk memeriksa, mengkaji, dan meniliti setiap berita yang datang, karena tidak semua berita yang dibawa oleh orang bisa diterima begitu saja tanpa ditelusuri asal-usulnya. Secara subntansinya ayat ini mengandung makna bahwa ilmu hadist harus dipelajari dengan baik.

Adapun dari hadist Rasulullah Saw  bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain. Karena barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadist ini menunjukkan agar selalu berhati-hati ketika menyampaikan dan menyebarkan suatu hadist, karena  membawa hadist yang berdusta dapat menimpa musibah yang besar kepada Islam dan Umatnya.

Maka ulama memahami hadist ini sebagai dasar yang jelas bahwa ilmu hadist sangat dianjurkan untuk dipelajari agar dapat membedakan mana yang perawi yang dapat diambil hadistnya dan mana perawi yang harus ditolak hadistnya.

Masa Sahabat radhiallahu’anhu.

Setelah Rasulullah wafat, ilmu hadist dari sisi periwayatannya terus terlihat perkembangannya, para sahabat bersenirgi dalam penyebaran hadist-hadist yang mereka dengar ketika Rasulullah hidup.

Masa  awal wafatnya Rasulullah, para sahabat membuat pedoman bagi siapa yang ingin meriwayatkan hadist hendaknya ia membawa saksi atau bersumpah.

Hal ini dibuat bukan untuk meragukan A’dalahnya para sahabat, namun sebagai penguat hadist yang didengar dari Rasulullah.

Kisah seorang nenek bertanya ke sahabat Abu Bakar r.a tentang permasalahan warisan, kemudian Abu Bakar berkata: “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah membahas permasalahan ini.” Kemudian Mughirah Ibnu Syu’bah berdiri dan berkata: Aku pernah menghadiri majlis Rasulullah permasalahan ini dan dia (nenek) mendapat seperenam. Abu Bakar bertanya: apakah ada sahabat lain yang bersamamu dalam majlis ini? Muhammad ibnu Maslamah bersaksi bahwa dia bersamanya didalam majlis tersebut. Kemudian Abu Bakar menerima hadist tersebut.

metode ini terus berlanjut sampai bergejolaknya api fitnah yang dasyat di masa khalifahnya Ali bin Abi Thalib, maraknya penyebaran hadist-hadist palsu karena faktor politik antara syiah dan khawarij, sehingga sahabat yang hidup pada saat itu mensyaratkan bagi yang ingin meriwayatkan hadist harus mendatangkan sanadnya.   Sebagaimana ungkapan yang masyhur:

سَمُّوْا لَنَا رِجَالِكُمْ.

“Sebutkan ke-kami sanad hadist yang kalian bawa.”

Pada masa khalifah Ali perhatian ulama terhadap ilmu hadist; meniliti setiap sanad hadist pertama kali dibentuk.

Ilmu Dirayah Pada Masa Tabi’in.  

Pada periode ini merupakan periode permulaan terbentuknya segala keilmuan, ilmu fiqh, tafsir, bahasa, dan juga keilmuan hadist. Perkembangan ilmu hadist makin pesat pada masa ini ketika para ulama tabi’in mulai membahas keadaan perawi dari ke-dhabitannya, a’dalahnya, membahas 2 hadist yang kontradiksi, nasikh dan mansukh hadist, dan pembahasan lainnya dari ilmu hadist, tetapi pembahasan ini belum tertulis dengan sistematis, hanya catatan ringan yang bersifat  pribadi.

Ilmu Dirayah Pada Masa Tabi’-Tabi’in.

Pada masa ini, yaitu abad ke-2 Hijriah qaidah ilmu hadist mulai ditulis, namun qaidah-qaidah ini masih terpisah, belum berdiri sendir, sehingga didapati ilmu hadust tergabung di dalam ilmu-ilmu lainnya. Ketika ulama menulis kitab tafsir, ia memasukkan pembahasan hadist pada kitabnya, sehingga tercampurlah ilmu hadist dalam kitab tafsir.

Pada dasarnya ilmu hadist sangat erat kaitanyaa dengan ilmu ushul fiqh. Imam syafi’i adalah pelopor pertama yang membangun kaidah Ilmu hadist dalam kitabnya Ar-Risalah, Ar-Risalah sebenarnya merupakan kitab Ushul fiqh, namun Imam syafi’i memasukkan ilmu hadist dalam kitabnya tersebut karena hubungan yang kuat .

Ketika pertengahan abad ke-2, ilmu hadist makin berkembang sehingga abad ini disebut sebagai masa keemesan ilmu hadist.

Penulisan ilmu hadist mulai marak dikaji pada abad ini hanya saja penulisannya masih terpisah sesuai dengan pembahasan dan babnya. Sangat banyak karangan hulama pada abad membahas ilmu hadist.

Diantaranya; Imam Ali Ibnu Madini menulis pembahasan hadist-hadist yang bertolak belakang dalam kitabnya “Ikhtilaf Hadist”, Imam Muslim menulis pembahasan ilmu hadist dalam kitab “Muqaddimah Shahih Muslim”, Ibnu Abi Hatim menulis pembahasan “Jarh Wa Ta’dil.”

Ilmu Dirayah Pada Masa Setelah Tabi’ Tabi’in.

Dimulai dari akhir abad ke-3 atau awal abad ke-4 perkembangan ilmu hadist sampai ketitik puncak kematangannya, yang mana ilmu hadist menjadi ilmu yang merdeka dan dapat berdiri sendiri. Pembahasan ilmu hadist yang masih terpisah mulai dikumpulkan dan digabungkan dalam satu kitab.

Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H) adalah orang yang pertama kali memunculkan ilmu hadis yang berdiri sendiri dalam karyanya (Al-Muhaddits Al-Fâshil bain Ar-Râwî wa Al-Wâî).

Walaupun kitab ini masih ada kekurangannya dalam penataan pembahasannya, namun kitab ini tetap sebagai pedoman dasar bagi ulama yang datang setelahnya dalam penyempurnaan ilmu hadist sebagai ilmu yang mustaqil.

SOSIAL MEDIA
Post terbaru